Pilarempat.com, Medan | Pemerintah Provinsi Sumatera
Utara akan membentuk Badan Usaha Modal Daerah (BUMD) Pangan yang diharapkan
mulai operasional tahun 2020 sebagai salah satu upaya menekan inflasi daerah
ini.
"Sekarang masih dalam tahap proses perizinan
dari DPRD Sumut," ujar Musa
Rajekshah atau Ijeck, Wakil Gubenur (Wagub) Sumatera Utara didampingi Kepala
Perwakilan Bank Indonesia (BI) Wilayah Sumatera Utara, Wiwiek Sisto Widayat
usai menghadiri Rapat Koordinasi (Rakor) Wilayah Tim Pengendali Inflasi Daerah
(TPID) Provinsi se-Sumatera di Lantai IX, gedung BI Jalan Balai Kota, Medan, Rabu
(18/9/2019), di Kantor BI Jalan Balai Kota Medan.
Rakor Wilayah TPID se Pulau Sumatera itu juga diikuti TPID dari provinsi lainnya yang
ada di Sumatera, yaitu; Aceh, Sumut, Sumbar, Riau, Kepri, Jambi, Bengkulu,
Sumsel, Bangka Belitung dan Lampung.
Wagub Ijeck menjelaskan BUMD Pangan itu sejenis perusahaan
yang fungsinya nanti untuk membeli hasil pertanian, menyimpan sekaligus
memasarkannya. Artinya Pemprov bisa terjun langsung ke petani karena selama ini
hanya memantau.
"Kalau bisa disetujui oleh DPRD, tahun depan
(2010) udah bisa kita berjalan BUMD tersebut, sehingga kita bisa membangkitkan potensi
pertanian kita dan sekaligus meningkatkan kesejahteraan petani," ungkap
Ijeck.
Harapan ke
depan, papar Ijeck, petani sejahtera, harga pasar terkontrol dan masyarakat
juga tidak mendapatkan harga yang fluktuasinya naik turun.
Menurut Ijek, Badan Usaha Modal Daerah (BUMD) Pangan
itu, nanti didanai oleh APBD kalau ada persetujuan DPRD. Sistemnya nanti BUMD
itu langsung ke petani. Konsepnya lagi, BUMD juga membuka lahan pertanian.
Dijelaskanya, ada beberapa hal yang mengakibatkan
inflasi di Sumut. Pertama, cabai merah harganya cukup tinggi beberapa hari lalu
di atas rata-rata sampai Rp90.000. Itu bukan karena gagal panen dimana curah
hujan cukup baik melainkan memang pemasaran hasil sayur mayur Sumut tidak hanya
dijual di wilayah Sumut saja namun sampai ke provinsi tetangga di Pulau Sumatera.
"Ini
faktor pasar, dimana harga tinggi di situlah orang berjualan. Akibatnya harga
meningkat di pasar lokal, karena permintaan tetap tinggi," terang
Ijek.
Hasil rapat TPID Sumatera tersebut, tambah Ijeck,
baik dengan Bank Indonesia maupun pemerintah provinsi Se Sumatera bisa menjadi
solusi ke depan terutama bagaimana lintas perdagangan antar provinsi.
Kemudian, seperti apa pembatasannya mengingat apa yang
diperdagangkan menyangkut hajat hidup ekonomi masyarakat kita. Jadi nanti
regulasi apa yang tepat. Tapi yang terpenting inflasi di daerah selama ini
pemantauan kami memang pemerintah itu
peran fungsinya tak sampai ke bawah, tidak sampai kontrol harga di pasar.
"Untuk itulah dibuat BUMD Pangan agar petani
bisa bangkit. Harapannya petani sejahtera, harga terkontrol dan masyarakat bisa
menikmati harga yang wajar,” ungkap Ijeck.
Ijeck menambahkan, TPID Se Sumatera mendiskusikan
tiga hal yakni pertama upaya- upaya apa yang bisa dilakukan untuk mencoba
menurunkan inflasi Sumatera terutama Sumatera Utara yang kembali ke sasarannya
dimana sasaran inflasi yang ditetapkan pemerintah pada tahun 2019 sebesar 2,5 -
5,5 persen. Kedua kita ingin melihat kegiatan dan instrumen apa yang bisa
dilakukan untuk menekan inflasi tersebut.
Menurut dia, komoditi yang sangat rentan terhadap
inflasi yakni cabai merah, bawang merah, bawang putih, daging ayam dan telur
ayam. Regulasi yang mengatur perdagangan komoditi ini belum ada. Perdagangan
antar daerah tidak dilarang karena masih wilayah Indonesia.
"Tapi kita tetap coba sampaikan itu ke daerah
lain di Sumatera. Kita harapkan kawan-kawan di daerah lain dan pemerintah untuk
sama sama mengaturnya sebagai upaya menekan inflasi. Selain itu, pemantauan
harga komoditi terus dilakukan terutama cabai merah. "Kalau harga cabai
merah tetap naik maka kita akan lakukan operasi pasar," tegas Ijek. [P4/sya]