Medan, PILAREMPAT.com – Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (Mahupiki) Sumatera Utara bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (FH USU) menyelenggarakan Sosialisasi KUHP Nasional, di Hotel Grand Mercure Maha Cipta Medan Angkasa, Medam, Sumatera Utara, Senin (9/1/2022).
Ketua Mahupiki Sumatera Utara, Dr. Rizkan Zulyadi mengatakan
KUHP baru ini merupakan produk hukum dan karya anak bangsa. Meskipun sudah
disahkan, namun KUHP yang baru ini masih menuai pro dan kontra terkait
pasal-pasal yang dinilai mengekang HAM.
“Kita harus bangga KUHP ini adalah produk atau hasil anak
bangsa dan salah satu yang membedakan KUHP yang baru adalah memuat keseimbangan
antara HAM beserta kewajibannya. Artinya aspek yang dibahas tidak hanya
bagaimana kita menuntut HAM, tetapi juga membahas kewajiban-kewajibannya”,
katanya.
Dekan FH USU, Dr. Mahmul Siregar mengatakan sudah lama
bangsa ingin memiliki KUHP buatan sendiri. Masyarakat kita mendambakan dasar
atau konsep hukum nasional yang sesuai perkembangan bukan lagi warisan kolonial
Belanda.
“Wacana KUHP nasional sudah ada sejak tahun 1992, semasa
saya kuliah. Tentu akan banyak perbedaan dengan KUHP yang sebelumnya, tetapi
yang pasti hal itu akan mendasari lahirnya semangat persatuan dan lebih maju
serta tetap menjunjung tinggi keberagaman”, ujarnya.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang,
Prof. Dr. Pujiono mengatakan beberapa aspek yang menjadi dasar KUHP baru atau
nasional adalah pada KUHP warisan kolonial belum adanya pemisahan aspek
individu dan klaster; belum berorientasi pada orang atau aliran modern; tidak
ada bab kesalahan atau pertanggungjawaban pidana; korban belum mendapat tempat
atau berorientasi hanya pada pelaku; denda atau alternatif sanksi sangat
sedikit atau sangat ringan karena bernilai pada masa kolonial.
“Dengan berbagai dasar pemikiran itu kemudian memunculkan
ide-ide dalam KUHP baru dengan nilai-nilai dasar Pancasila; menjaga
keseimbangan monodualistik; pengalaman historis dan kondisi empirik; serta
perkembangan keilmuan atau teori serta dinamika masyarakat”, ujar Pujiyono.
Hal senada juga disampaikan Guru Besar Hukum Pidana
Universitas Gadjah Mada (UGM), Marcus Priyo Gunarto menjelaskan bahwa penolakan
atau pro dan kontra sebuah produk hukum adalah hal yang wajar dan biasa.
“Meskipun baru disahkan tetapi sudah dianggap pro dan kontra
bahkan dianggap mengancam kebebasan adalah hal yang wajar karena produk hukum
atau KUHP ini tidak bisa lepas dari sudut pandang tertentu,” ucapnya.
Perubahan yang paling mendasar sebenarnya terletak pada buku
pertama karena dimulai dengan perubahan paradigma pidana yang mana disepakati
pidana adalah sebuah alat untuk mencapai tujuan. Dengan adanya perubahan
landasan berpikir ini kemudian akan merubah semua tatanan dalam konteks
peradilan pidana.
Marcus juga menyatakan, perjuangan bangsa ini untuk memiliki
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sebagai kebanggaan nasional itu sudah menjadi
kenyataan. Sebab, saat ini kita sudah memiliki KUHP yang baru.
"Jangan sampai penegak hukum pidana di Indonesia
dilaksanakan berdasarkan ketidakmengertian sumber aslinya," tegas Marcus.
Sementara itu, Ketua Senat Akademik Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, Dr Surastini Fitriasih, SH MH menyatakan sejumlah
isu-isu krusial di dalam KUHP terus berkembang seiring waktu, namun sebenarnya
itu bersifat subjektif.
Dari pasal-pasal krusial yang ia identifikasi, semua
berkembang sangat dinamis setiap saat, misalnya isu soal unjuk rasa yang
menyebabkan kerusuhan, baru akhir-akhir ini muncul.
“Kalau kita baca penjelasan dan naskah akademik pada
pasal-pasal krusial yang menjadi perdebatan publik, sebenarnya sudah sangat
jelas dan gamblang bagaimana aturan hukumnya,” kata Dr. Surastini.
Menurutnya, sejumlah pasal di KUHP baru, ada yang dihapus dan
ditambahkan karena berdasarkan masukan berbagai pihak dan ahli hukum, sebagain
pasal dan aturan itu sebaiknya diatur dalam peraturan daerah (perda). Itulah
bentuk penyusuan KUHP yang sangat
demokratis.
Sosialisasi KUHP di Medan ini diikuti sekitar 200 orang
peserta, yang terdiri dari unsur tokoh agama, tokoh masyarakat, aparat penegak
hukum dan mahasiswa, serta elemen masyarakat lainnya.
Dengan adanya sosialisasi ini juga diharapkan dapat
meningkatkan pemahaman masyarakat akan pentingnya penyesuaian terhadap KUHP
agar lebih sesuai dengan dinamika masyarakat yang ada saat ini. [P4/rel/sya]