MEDAN, PILAREMPAT.com - Bank Indonesia (BI) memperkirakan pertumbuhan ekonomi domestik hingga memasuki Semester II pada tahun2022 ini tetap berada dalam kisaran proyeksi pada 4,5-5,3% kendati dihadapkan oleh tantangan global yang semakin meningkat, terutama masih berlangsungnya ketegangan politik dan tekanan inflasi global.
“Perekonomian domestik diprakirakan terus
melanjutkan perbaikan seiring dengan peningkatan permintaan domestik di tengah
tetap positifnya kinerja ekspor,” ungkap Gubernur BI, Perry Warjiyo di Jakarta
melalui kanal youtube, Kamis (23/6/2022).
Perkembangan tersebut, kata Perry, tercermin dari
berbagai indikator dini pada Mei 2022 dan hasil survei Bank Indonesia terakhir
yang menunjukkan berlanjutnya perbaikan permintaan domestik seperti keyakinan
konsumen, penjualan eceran, dan ekspansi Purchasing Managers’ Index (PMI)
Manufaktur, seiring dengan peningkatan mobilitas dan pembiayaan dari perbankan.
Kinerja ekspor juga tetap kuat, khususnya pada
komoditas batu bara, besi baja, dan biji logam, di tengah risiko tertahannya
permintaan akibat perlambatan perekonomian global. Secara spasial, kinerja
positif ekspor terjadi di seluruh wilayah, terutama Kalimantan dan Sumatera.
Disebutkannya, perbaikan ekonomi juga tercermin pada
kinerja beberapa sektor utama, seperti Industri Pengolahan, Perdagangan, dan
Konstruksi yang terus membaik. Ia meyakini, ke depan, perbaikan perekonomian
domestik diprakirakan terus berlanjut didukung oleh peningkatan mobilitas,
sumber pembiayaan, dan aktivitas dunia usaha, di tengah tetap positifnya
kinerja ekspor.
Sebagaimana diketahui, perekonomian global terus
diwarnai dengan meningkatnya inflasi di tengah pertumbuhan yang diprakirakan
lebih rendah dari proyeksi sebelumnya. Berlanjutnya ketegangan geopolitik
Rusia-Ukraina, yang disertai dengan pengenaan sanksi yang lebih luas dan
kebijakan zero Covid-19 di Tiongkok, menahan perbaikan gangguan rantai pasokan.
Gangguan dari sisi suplai tersebut disertai dengan
meluasnya kebijakan proteksionisme terutama pangan oleh berbagai negara,
mendorong tingginya harga komoditas global yang berdampak pada peningkatan
tekanan inflasi global.
Berbagai negara, termasuk Amerika Serikat (AS),
merespons kenaikan inflasi tersebut dengan menempuh pengetatan kebijakan
moneter yang lebih agresif sehingga berpotensi menahan pemulihan perekonomian
global dan mendorong peningkatan risiko stagflasi. [P4/sya]