2021,Tahun Pemulihan Ekonomi dan Perdagangan Global

/

/ Jumat, 15 Januari 2021 / 14.56 WIB

 



PILAREMPAT.com--JAKARTA | Perbaikan ekonomi global telah terjadi secara gradual sejak kuartal keempat tahun 2020, terutama ditopang oleh pertumbuhan di negara-negara berkembang di kawasan Asia.

 Tahun 2021 akan menjadi tahun pemulihan ekonomi dan perdagangan global.  Pemulihan diperkirakan akan semakin terakselerasi di semester kedua 2021 seiring peningkatan akses terhadap vaksin dan aktivitas vaksinasi.

"Namun, risiko utama atas proyeksi ini adalah apabila vaksinasi terkendala dan mitigasi pandemi Covid-19 tidak berjalan efektif secara global," kata Katarina Setiawan (foto), Chief Economist and Investment Strategist Senior Fortofolio Manager Equity Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) saat menjadi pembicara pada Webinar Market Outlook 2021 di Jakarta, Kamis 14/1/2021.

Dalam kegiatan ulasan dan proyeksi kondisi pasar global dan domestik yang digelar MAMI  itu juga menghadirkan pembicara Ezra Nazula, Director & Chief Investment Officer, Fixed Income,  dan Samuel Kesuma, Senior Portfolio Manager, Equity. 

MAMI memprediksikan pemulihan ekonomi ini akan membuka peluang bagi penguatan di pasar saham, sementara stabilitas serta imbal hasil pasar obligasi juga masih akan terus menarik. Namun ada satu hal krusial yang akan menjadi kunci, yaitu penanganan pandemi dan vaksinasi. 

 Menurut Katarina, vaksinasi menjadi poin krusial untuk mendorong normalisasi aktivitas ekonomi masyarakat. Produksi dan distribusi akan menjadi perhatian pasar. 

Saat ini diperkirakan kapasitas produksi vaksin global mencapai 2-4 miliar dosis per tahun.  Hingga 11 Januari 2021, 28.5 juta dosis vaksinasi telah dilakukan di seluruh dunia, dengan jumlah terbanyak di Amerika Serikat dan China yang masing-masing telah telah mencapai 9 juta dosis.

 Pemulihan ekonomi harus ditopang oleh ketersediaan vaksin dan pelonggaran pembatasan sosial global yang mendukung normalisasi aktivitas ekonomi. 

Sementara pemulihan perdagangan global akan didukung oleh meningkatnya permintaan seiring normalisasi aktivitas ekonomi.

"Ketersediaan vaksin, dan membaiknya iklim perdagangan di era kepresidenan Joe Biden.  Potensi membaiknya perdagangan global di tahun ini dapat menguntungkan kawasan Asia yang merupakan ‘pabrik dunia’,” ujar Katarina. 

 Dia menyebutkan  tahun 2021, era suku bunga rendah dengan stimulus ekonomi yang masih akan terus berlanjut dan USD yang akan tetap suportif.  Kebijakan akomodatif ini akan menguntungkan negara berkembang tahun ini.

“The Fed masih mempertahankan outlook suku bunga rendah setidaknya hingga 2023. Program pembelian aset (quantitative easing) oleh bank sentral global juga akan terus berlanjut di 2021. Tingkat suku bunga rendah dan program pembelian aset akan menekan nilai tukar USD dan menopang selera investasi ke kawasan negara berkembang,” jelas Katarina.

 Perbaikan aktivitas ekonomi serta kebijakan moneter dan fiskal yang akomodatif membuat inflasi di tahun ini diperkirakan meningkat, namun tetap terjaga di level moderat. Diperkirakan akan terjadi lonjakan inflasi di kuartal kedua yang dipengaruhi oleh low base effect di kuartal tersebut.  Namun lonjakan sementara ini tidak akan mempengaruhi outlook kebijakan suku bunga bank sentral.

 Era suku bunga rendah membuat banyak obligasi di dunia mengalami penurunan imbal hasil hingga ke zona negatif.  Sekitar USD17 triliun (27% dari total obligasi investment grade) masuk dalam zona imbal hasil negatif, level tertinggi dalam sejarah.  Era suku bunga rendah juga mendorong investor global untuk berinvestasi di instrumen yang menawarkan tingkat imbal hasil lebih atau dapat memberikan regular income seperti saham, obligasi negara berkembang, dan REITs.(red)

 Pasar domestik

Sejalan dengan kebijakan akomodatif di pasar global, kebijakan moneter dan fiskal di pasar domestik pada tahun 2021 juga akan tetap akomodatif.  Bank Indonesia berkomitmen untuk menjaga sikap akomodatif dan mempertahankan perannya dalam mendukung kebijakan fiskal pemerintah. Walau di tahun ini defisit fiskal masih akan tinggi (target 5,7% PDB di 2021), namun pemerintah mencanangkan penurunan secara bertahap ke level 3% di tahun 2023. 

 “Berbagai dukungan kebijakan moneter dan fiskal, percepatan penanganan pandemi, dan membaiknya rasio pinjaman terhadap simpanan perbankan diharapkan dapat mempercepat proses pemulihan ekonomi domestik di 2021,” ucap Katarina. 

Dia mengatakan  MAMI memperkirakan nilai tukar rupiah akan bergerak stabil di tahun 2021, didukung oleh beberapa faktor seperti USD yang cenderung lemah dikarenakan kebijakan akomodatif The Fed dan pemerintah AS, berkurangnya tekanan pada neraca berjalan, inflasi yang terkendali, dan porsi kepemilikan asing yang rendah terhadap aset finansial Indonesia. 

Namun, seiring dengan laju pemulihan ekonomi yang akan meningkat di tahun ini, impor juga diperkirakan akan mengalami peningkatan sehingga berpotensi membuat defisit neraca berjalan di tahun 2021 lebih tinggi dibandingkan tahun 2020.

Sementara itu, implementasi omnibus law akan menjadi katalis penting yang harus dicermati bagi dimulainya siklus investasi di Indonesia. Omnibus law berpotensi mengubah Indonesia menjadi salah satu hub rantai pasokan Asia, dan diharapkan dapat menangkap kesempatan relokasi perusahaan dalam upaya mendorong penciptaan lapangan kerja di dalam negeri. 

 Sentimen terhadap pasar finansial Indonesia akan mengalami normalisasi, sehingga dana investor asing diperkirakan akan kembali masuk pada tahun ini. 

 Inisiatif vaksinasi, dukungan pemerintah dan bank sentral dalam mendorong perekonomian telah memicu pergeseran sentimen terhadap pasar finansial negara berkembang, termasuk Indonesia. 

Potensi inflow masih terbuka bagi Indonesia, mengingat kepemilikan asing di pasar saham dan obligasi yang saat ini masih relatif rendah serta potensi imbal hasil yang masih menarik di pasar finansial Indonesia. 

Khusus pada pasar saham Indonesia, peluang inflow masih besar, mengingat net flow di bulan November 2020 baru mencapai USD245 juta sementara net outflow pada periode 2017 hingga Oktober 2020 sebesar USD6.34 miliar.

 Pasar saham

Samuel mengatakan, pasar saham Indonesia menunjukkan kinerja -5,1% pada tahun 2020, sehingga Indonesia masuk ke dalam kelompok yang tertinggal.  Dengan kenaikan tinggi yang mulai terjadi di dua pekan pertama tahun ini, memang valuasi pasar saham tidak semurah tahun lalu.

 "Namun secara relatif masih salah satu yang paling menarik bila dibandingkan dengan kawasan lain.  Apalagi kepemilikan asing di pasar saham Indonesia pun masih berada di salah satu level terendah sejak 2013," katanya. 

Lebih lanjut Samuel menjelaskan bahwa pemulihan ekonomi global di tahun 2021, kondisi geopolitik yang lebih kondusif, dan USD yang relatif lemah akan menopang sentimen pasar saham negara berkembang, termasuk Indonesia. Pemulihan earnings juga akan berlangsung sejalan dengan pemulihan ekonomi.

Di tahun 2021, MAMI mengunggulkan tiga sektor, yaitu sektor material dan energi, sektor telekomunikasi, dan sektor finansial.  Sementara IHSG diperkirakan akan bergerak di kisaran 6.740 – 7.040.

Pasar Obligasi

Berbicara mengenai ulasan pasar obligasi di tahun 2020, Ezra mengatakan, tahun lalu, pasar obligasi Indonesia membukukan kinerja yang sangat tinggi, sebesar 14,7%, dengan didukung oleh pemangkasan suku bunga global, tingginya likuiditas domestik dan manajemen utang pemerintah yang baik. 

Dibandingkan dengan kawasan lain, pasar obligasi Indonesia menawarkan imbal hasil riil yang superior, bahkan merupakan salah satu yang tertinggi di dunia sebesar 3,6%. Selain daripada menariknya imbal hasil obligasi, kinerja pasar pada kuartal keempat tahun lalu juga didukung oleh aliran dana investor asing yang mulai kembali ke pasar obligasi. Indonesia paska disahkannya Omnibus Law dan stabilnya nilai tukar Rupiah, mendukung aksi beli investor lokal yang konsisten sepanjang tahun.

“Imbal hasil relatif tinggi yang ditawarkan pasar obligasi Indonesia masih akan menjadi daya tarik di tahun 2021, terutama bagi investor asing. Didukung oleh sentimen global maupun domestik yang lebih suportif akan berpeluang meningkatkan aliran real money.  Selain itu, stabilitas nilai tukar rupiah akan menjadi salah satu faktor pendukung bagi pasar obligasi Indonesia.  Karena secara historis, nilai tukar cenderung bergerak searah dengan pasar obligasi,” ujar Ezra.

 Lebih lanjut Ezra merincikan, imbal hasil obligasi pemerintah dengan durasi 10 tahun berpotensi turun ke level 5,5% di tahun 2021, sehingga masih memberikan potensi upside bagi investasi di pasar obligasi.  Tentu saja dengan cermat kami akan mengambil opportunity dalam setiap momentum volatilitas pasar.  [P4/sya]

 

Komentar Anda

Berita Terkini