" PRANK "
Tak dapat dipungkiri, kemajuan teknologi informasi dan komunikasi saat ini, dimulai pada era digitalisasi 4.0 dan ditandai dengan kecanggihan perangkat smarphone berikut dengan segala aplikasi dan multi fungsinya.
Produk konten yang dihasilkan dalam social media (Sosmed) atau media sosial (Medsos) sebagai new media (Media terbaru) ini pun semakin beragam. Salah satunya adalah Prank (baca: Prang). Istilah Prank makin populer dan tak terlepas dari efek kemajuan teknologi tersebut.
Kata Prank berasal dari serapan Bahasa Inggeris, diterjemahkan dalam bahasa Indonesia yang kurang lebih maknanya adalah Lelucon atau sebuah trik yang dimainkan oleh beberapa orang, yang umumnya menyebabkan korbannya kaget, tidak nyaman atau keheranan.
Istilah Prank bisa dianalogikan sebagai ucapan seloroh, gurauan atau kelakar. Pada mulanya aksi Prank dimaksudkan sebagai lelucon untuk menghibur atau membuat orang tertawa karena pelaku Prank mendapatkan reaksi spontan dan alami dari orang yang menjadi target.
Dalam dunia maya ataupun di media sosial, kita sering dihadiri dan diwarnai dalam smarphone kita berupa unggahan video Prank, sebagian dari video tersebut menjadi viral.
Dalam konteks platform sosial media, siapapun orang bisa dengan mudah membuat skenario Prank, baik untuk kepentingan pribadi ataupun bisnis.
Sedangkan dalam konteks Psikologi Komunikasi, aksi Prank ini termasuk kurang fair atau kurang adil dalam tatanan proses komunikasi yang baik dan efektif.
Sedangkan dalam konteks Psikologi Komunikasi, aksi Prank ini termasuk kurang fair atau kurang adil dalam tatanan proses komunikasi yang baik dan efektif.
Perlu kita cermati, ada juga beberapa kasus dimana konten Prank tersebut
menimbulkan kontroversi. Di media sosial, ada video Prank yang bersifat ringan,
tetapi tak jarang kontennya yang bersifat membahayakan.
Masalahnya, apakah aksi Prank yang mudah kita akses dan lihat di media sosial itu dapat dipertanggungjawabkan? Baik itu dalam konteks peraturan/undang-undang, hukum yang berlaku maupun kehidupan sosial, moral serta etika dalam berkomunikasi.
Sebab itu, saatnya kita bijak dalam menggunakan media sosial yang sesuai dengan hati nurani, nilai - nilai sosial, budaya dan moralitas kita sebagai insan yang beragama. (Muhammad Isya, M.I.Kom)