Amir Machmud NS.(foto: P4/istimewa) |
SEBEBAS
apa pun ruang yang dibuka oleh atmosfer kemerdekaan pers dewasa ini,
kepentingan kemaslahatan dan kemanusiaan tetap merupakan mahkota yang harus
dijaga dan ditegakkan dalam berjurnalistik.
“Pesan moral” ini mengemuka sebagai
simpulan atas respons terhadap wacana model pemberitaan tentang virus Corona.
Kinerja kewartawanan dan kemediaan diingatkan, termasuk secara formal melalui
surat edaran Dewan Pers, untuk tetap mematuhi rambu-rambu etika dan tujuan kemaslahatan
sosial.
Pesan serupa (seharusnya) juga
direfleksikan oleh model pemberitaan tentang musibah banjir di Ibu Kota RI,
belum lama berselang. Rata-rata pemberitaan banjir Jakarta, menurut penilaian
saya, terasa lebih berkecenderungan mengumbar ekspresi syahwat politik
ketimbang memuarakan solusi teknis yang efektif dan semangat kemanusiaan. Media
seolah-olah membuka diri, menyediakan ruang bagi kepentingan-kepentingan
politik kekuasaan yang bertarung head to
head.
Jurnalisme hakiki, apabila kita
meresapinya sebagai tugas etis, memang seharusnya mengetengahkan orientasi yang
tidak kalah penting ketimbang hanya eksplorasi mengenai eksklusivitas unggahan informasi
demi kepentingan survivalitas perusahaan media. Orientasi itu adalah
kepentingan kemanusiaan. Pertanyaannya, apakah tujuan berjurnalistik sekadar
menumpang jiwa bisnis media, atau sebaliknya? Atau boleh jadi pula, punya jalan
tengah yang keberiringan antara ideologi media dan tujuan membangun perusahaan
yang sehat?
Kondisi perusahaan yang sehat tidak
selalu dihadirkan oleh kemenangan rating atau unjuk viral dari model-model
bermedia yang bermagnet penyajian sensasi. Yang harus dibangun adalah justru
bagaimana good news menjadi penyangga
bagi kekuatan berita-berita yang mengilhami atau inspirational news. Sensasi dan magnetnya ada pada kehendak
mewujudkan impian masyarakat tentang keteladanan, kebutuhan akan contoh-contoh
kisah sukses dari para “hero” dalam berbagai bidang kehidupan. Model jurnalistik
ini akan menjadi semacam “klinik” yang memberi pencerahan kepada masyarakat.
Nalar inspirational news ini tidak lantas membatasi sifat kritis media
yang menjadi representasi kontrol masyarakat terhadap penyelenggaraan negara
dan pemerintahan di semua lini. Fungsi media untuk memberi informasi dan
mengedukasi -- sebagai wujud ekspresi kemerdekaan pers -- tetap melekat, karena
orientasi sajian pemberitaan adalah untuk kontribusi menciptakan kemaslahatan
bersama.
Tujuan
Kemanusiaan
Sikap etis dalam pemberitaan virus
Corona dan banjir Jakarta, dari perspektif ini, adalah untuk tujuan kemanusiaan
menyelamatkan bangsa. Peran ini boleh jadi amat berat disangga oleh realitas kekuatan
wartawan dan media, akan tetapi sebagai representasi masyarakat untuk
menyalurkam pendapat, etika kewartawanan dan bermedia ini menjadi moralitas
profetik yang harus terawat dan konsisten ditransformasi sebagai “laku”. Dan,
seperti pada peristiwa virus Corona inilah dunia media kita mendapat ruang
nyata untuk unjuk keberpihakan kepada maslahat.
Seperti terkutip dari buku Adab Jurnalistik, makin banyak bukti
betapa media berperan secara determinatif dalam menemukan, mengangkat, membuka,
lalu mendorong penyelesaian persoalan-persoalan publik. Keterangkatan kasus-kasus
korupsi, penangkapan bandar karkotika, dan berita-berita di seputar terorisme
juga memperlihatkan peran masif media untuk membangun kemaslahatan publik.
Kegairahan orang-orang media boleh jadi tak hanya didorong oleh orientasi
“kebaikan” sebagai jabaran fungsi ideal berjurnalistik, karena memang terdapat
sisi-sisi lain yang terkait dengan perkembangan praksis jurnalisme lantaran
perkembangan pesat teknologi informasi (Amir Machmud NS: 2017).
Tata krama pemberitaan di seputar virus
Corona merupakan bentuk keterlibatan yang berorientasi pada produk “kebaikan
bersama”. Yakni agar tidak menimbulkan peningkatan kepanikan, memberi
pengetahuan untuk bersikap preventif, mendorong hidup yang lebih sehat, menguatkan
kemampuan teknis wartawan dan media dalam mengemas pesan-pesan, dan mengelola
kerja sama antara masyarakat dengan pemerintah. Dari sisi kewartawanan, tentu
bertujuan agar tidak muncul bias dalam penyajian informasi yang justru
kontraproduktif dengan tujuan berjurnalistik dan bermedia.
Model itu tentu sama dengan idealita tata
krama di seputar pemberitaan banjir. Yakni agar media tidak terjebak di tengah
pertarungan politik yang secara verbal tampak dan terasa dari aneka pernyataan, baik dari lingkaran Anies Baswedan cs
(Pemerintah DKI Jakarta) maupun dari lingkaran oposannya, termasuk dari
kalangan pemerintah pusat. Keterjebakan pada kampanye politik yang saling
memojokkan itu berpotensi bias untuk melalaikan tugas utama berupa ikhtiar
menemukan “kebenaran jurnalistik” yang memberi kontribusi terhadap solusi efektif
dalam manajemen pengendalian banjir di Ibu Kota.
Kalau sikap itu kita maknai sebagai misi
jurnalisme, maka pijakan pada kode etik akan menuntun praktik berjurnalistik
kita sebagai seorang “wartawan negarawan”.
Bukankah, seperti disampaikan oleh Bill
Kovach dan Tim Rosenstiel dalam buku legendaris Elemen-elemen Jurnalisme, kode etik dan misi jurnalisme
menghasilkan kesaksian yang sama? Tujuannya, seperti dalam Kode Etik American
Society of Newspaper Editors, “untuk melayani kesejahteraan umum dengan
menginformasikan berita kepada orang-orang”. Pernyataan yang kemudian menjadi
klasik dalam praksis ini adalah, “Berikan sinar, dan orang-orang akan menemukan
jalan mereka sendiri” (Kovach & Rosenstiel: 2004).
Dari pemaknaan untuk tujuan kebaikan
bersama, inilah sejatinya nalar “jurnalisme inspiratif” yang harus terus
menerus kita rawat dan kembangkan.
--
Amir Machmud NS, wartawan senior dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah.