Gunawan Benjamin,SKom.MM |
MEDAN--PILAREMPAT.com
|Tidak hanya di pandemi Covid 19 saja, aktifitas fintech illegal sebenarnya banyak ditemukan di tengah masyarakat bahkan sebelum masa covid 19.
Namun, di saat kondisi ekonomi masyarakat tepuruk akibat pandemi ini, banyak
masyarakat yang mengambil jalan pintas dengan mencari sumber pendanaan yang
mudah untuk didapatkan.
“Disini mungkin letak kehadiran fintech tersebut seakan
menjadi solusi bagi pemenuhan kebutuhan uang jangka pendek disini. Masyarakat
cenderung tidak memperhitungkan besaran bunga yang dibebankan. Cenderung
bersikap fragmatis. Padahal dibalik semua kemudahan dalam meminjam uang itu ada
beban yang harus ditanggung,” ungkap Gunawan Benjamin, SKom,MM, pengamat ekonomi Sumut
kepada Pilarempat.com, Sabtu (4/7/2020).
Menurutnya, bebannya itu adalah bunga yang terlalu besar dan
temponya juga pendek. Dan resikonya adalah proses penagihan yang tidak
manusiawi. Fintech illegal tentunya tidak memiliki aturan khusus layaknya
fintech yang diawasi langsung oleh OJK. Fintech tanpa diawasi tersebut tentunya
bisa beroperasi tanpa harus melihat rambu rambu yang ditetapkan otoritas
keuangan kita.
Meskipun selain fintech, tetap ada praktek rentenir juga
yang berkembang di masyarakat kita. Praktek pinjam meminjam uang dengan bunga
tinggi ini berseliweran di tengah masyarakat kita. Bunga tinggi dengan proses
penagihan yang dilakukan setiap hari ini jamak terjadi.
Meskipun para rentenir itu tidak mendapatkan stigma illegal.
Karena didominasi oleh perseorangan yang melakukan usaha pinjam meminjam
tersebut. Namun, kesadaran masyarakat yang perlu ditumbuhkan untuk menangkal
banyaknya fintech illegal yang terus tumbuh.
Namun kebutuhan mendesak ini yang kerap membuat masyarakat
cenderung bertindak pragmatis tanpa memahami resiko yang melekat. Ini yang
menjadi masalah mendasar kita selama ini. Sehingga praktek rentenir dengan
banyak wujudnya tetap berkembang di tengah masyarakat kita.
Investasi Bodong
Sikap pragmatis juga kerap menghinggapi masyarakat jika
tawarkan produk investasi yang memberikan keuntungan tidak masuk akal. Pemahaman
tentang dunia keuangan (literasi) yang rendah membuat masyarakat juga gampang
teriming-iming dan masuk jebakan investasi bodong. Masyarakat tidak menelisik
lebih jauh dan detail terkait produk investasi yang ditawarkan tersebut.
Masyarakat mudah dijebak karena tidak bisa memisahkan antara
perusahaan investasi yang legal atau perusahaan investasi bodong. Semua
disamarkan oleh oknum yang menawarkan. Padahal masyarakat yang menggunakan
smart phone seharusnya bisa mengakses informasi yang bisa lebih rinci untuk
mendapatkan informasi tentang produk yang ditawarkan.
Jangan tergiur oleh tampilan orang yang menawarkan. Dan
jangan pula mempercayai sebuah tawaran produk investasi hanya karena produk
tersebut ditawarkan juga oleh tokoh masyarakat, seperti pemuka agama, atau
tokoh masyarakat tertentu. Karena memang produk investasi ini juga sering
mamanfaatkan ketokohan seseorang dalam menjerat calon mangsanya (masyarakat).
“Kita harapkan satgas investasi juga bersikap pro aktif.
Banyak investasi bodong ini yang merebak di masyarakat dengan cara militan.
Jadi satgas ataupun OJK seharusnya bisa bergerak lebih cepat dan tidak harus
menunggu laporan masyarakat,” paparnya.
Otoritas maupun SATGAS bisa melakukan pengecekan dengan cara
masuk ke tengah masyarakat. Menanyakan produk investasi atau pinjaman yang
berkembang ditengah masyarakat secara acak. Saya yakin temuannya akan lebih
banyak lagi dari tampilan sejumlah perusahaan yang dibekukan oleh OJK.
Modus yang yang kerap ditawarkan oleh para oknum
adalah dengan cara pendekatan sosial masyarakat. Tidak jarang jika targetnya
adalah masyarakat muslim, maka yang dijual adalah produk-produk yang seakan
produk itu sesuai dengan prinsip syariah. Dan banyak modus-modus lainnya,
sehingga ketokohan seseorang di masyarakat yang dimanfaatkan, kerap menjadi
salah satu daya tarik masyarakat yang pada akhirnya terjebak.
Kalau pinjaman yang menawarkan bunga tinggi dan tidak dalam
pengawasan OJK. Bentuk praktek seperti ini banyak ditemukan.
“Praktek investasi bodong yang tidak menggunakan jaringan
telekomunikasi ini juga pernah saya temukan. Jadi melakukan penyisiran terkait
dengan praktek praktek tersebut diatas harus dilakukan baik secara online
maupun offline atau terjun langsung di tengah masyarakat,”tandasnya. [P4/sya]