BI: Dampak Covid-19, Triwulan II/2020 Ekonomi Sumut Diprediksi Tumbuh Melambat

/

/ Rabu, 03 Juni 2020 / 02.42 WIB

Kepala BI Perwakilan Provinsi Sumut, Wiwiek Sisto Widayat (Foto:P4/Isya)

MEDAN--PILAREMPAT.com | Perekonomian Provinsi Sumatera Utara pada triwulan II tahun 2020 diprediksi tumbuh terbatas dari triwulan sebelumnyaDari sisi permintaan domestik, konsumsi rumah tangga diprakirakan tumbuh melambat dipengaruhi oleh penurunan daya beli masyarakat akibat terganggunya kinerja dunia usaha dan pembatasan aktivitas masyarakat untuk menahan laju penyebaran Covid-19.

“Hal ini terindikasi oleh penurunan indeks keyakinan konsumen dan penurunan penghasilan saat ini dibandingkan enam  bulan yang lalu,” ujar Kepala Bank Indonesia (BI) Perwakilan Provinsi Sumatera Utara (Sumut), Wiwiek Sisto Widayat  dalam Webinar (Seminar Online)  bertajuk “Sumut Menghadapi New Normal” Tinjauan Aspek Kesehatan, Sosial dan Ekonomi, yang dipandu  oleh  moderator Dr.Rudianto, M.Si (WR III UMSU), Selasa (2/6/2020).

Dalam skenario mild, ungkap Wiwek, meluasnya dampak Covid-19 diprakirakan mendorong perlambatan perekonomian Sumut menjadi berada dikisaran 4,3% - 4,7% year on year/yoy) melambat 0,8% dari baseline dalam skenario sedang. Dengan perkembangan terkini, dimana pertumbuhan dunia diperkirakan tumbuh 0,9% (yoy) (BIserta Tiongkok tumbuh hanya 2.3% (World Bank), perekonomian Sumut berpotensi melambat lebih dalam pada kisaran 2,2 – 2,6% (yoy) dalam skenario berat. Dalam kondisi sangat berat, ekonomi sumut dapat turun hingga 1,2 – 1,6% (yoy).


"Kinerja seluruh lapangan usaha diperkirakan akan menurun akibat Covid-19 pada triwulan II 2020. Perlambatan terdalam diharapkan hanya terjadi pada triwulan II dan akan rebound pada triwulan III dan IV dengan aktivitas new normal,” sebutnya.

                                                        Gubernur Sumut, Edy Rahmayadi (Foto:P4/isya)

Dalam menghadapi new normal, jelas Wiwiek, ada beberapa hal yang harus dan perlu dilakukan. Penurunan permintaan eksternal juga terkonfirmasi oleh penurunan harga komoditas di pasar internasional. Dibutuhkan anggaran yang cukup besar untuk menopang ekonomi. Pada periode pandemi, pertumbuhan ekonomi Sumut diprediksi tertekan hingga pada kisaran 1,3-1,8 persen (yoy). 

"Meluasnya Covid-19 berdampak pada melambatnya beberapa sektor/lapangan usaha, terutama penyediaan akomodasi dan mamin, PBE, transportasi dan konstruksi. Dari sisi penggunaan, penurunan dipengaruhi oleh kontraksi dari sisi eksternal serta perlambatan domestic demand. Untuk menopang pertumbuhan ekonomi pada masa pandemi pada kisaran 3 persen saja diperkirakan perlu anggaran mencapai Rp 5 triliun, “ terang Wiwiek dalam pemaparannya yang diikuti Gubernur Sumatera Utara (Gubsu), Edy Rahmayadi serta narasumber Prof Dr Tamsil Syaifuddin, SP P(K) dan Prof Dr Wan Syaifuddin, MA, PhD.

Kemudian langkah keduanya yakni refocusing APBD ditujukan untuk mendorong industri padat karya. Di mana masih dikatakannya, dari ketersediaan anggaran yang dapat dialokasikan Pemerintah Provinsi, masih dibutuhkan Rp 2,3 – 3,5 triliun untuk mendorong pertumbuhan ekonomi Sumut di atas skenario berat.

Untuk itu, dana yang tersedia tidak terbatas hanya digunakan untuk Bantuan sosial (Bansos). Namun juga dapat digunakan untuk menopang roda perekonomian melalui sektor-sektor padat karya seperti industri tekstil, industri barang dari kayu dan penyediaan makan minum (Mamin).

Sejalan dengan hal tersebut, jumlah tenaga kerja yang terdampak sebagian besar berada pada sektor akomodasi makan-minum, perdagangan, jasa, transportasi, dan industri pengolahan yang berprofesi sebagai tenaga administrasi, pekerja harian lepas dan pramusaji.

Kemudian masih dikatakannya lagi, Penguatan sektor riil dan UMKM. “Pada masa dan pasca pandemi berakhir, sejumlah sektor diyakini akan mengalami pertumbuhan yang signifikan antara lain pariwisata, makan-minum, e-commerce, hiburan dan industri. Momentum tersebut perlu dioptimalkan untuk mempercepat pemulihan ekonomi. Namun demikian, ekonomi juga perlu ditopang pada masa pandemi agar perlambatan yang terjadi tidak terlalu signifikan, “ungkapnya.


    Moderator, Dr.Rudianto,M.Si (WR III UMSU). (Foto:P4/isya)

Fluktuasi Harga Tinggi
Selanjutnya, dalam memulai new normal, kata Wiwiek, juga diperlukan adanya Penguatan Ketahanan Pangan. Dalam hal ini, sebagian komoditas surplus juga memiliki fluktuasi harga tinggi.

“Beberapa komoditi strategis memiliki fluktuasi harga yang tinggi (>10 persen) mencerminkan stabilitas harga yang tidak terkendali seperti Cabai Merah, Cabai Rawit, Bawang Putih dan Gula Pasir (Tahun 2020). Meski sebagian komoditas tersebut mengalami surplus produksi dan pada beberapa waktu tidak memiliki andil inflasi yang besar. Namun fluktuasi harga berpotensi menyebabkan kerugian dari sisi produsen dan konsumen. Untuk itu diperlukan pasokan yang tersedia sepanjang waktu dan distribusi yang optimal, “ papar Wiwek.

Diungkapnya lagi, penguatan dan pemberdayaan BUMD juga perlu terus dioptimalkan untuk penguatan ketahanan pangan. Di mana, harga yang sangat rendah menyebabkan petani enggan menanam dan/atau tidak melakukan Good Agricultural Practices dengan baik, sehingga produksi terbatas. Merespon hal tersebut, pemerintah dapat melakukan inovasi terutama untuk memastikan ketersediaan pasokan pangan yang defisit dan memiliki volatilitas harga tinggi.

Respon kebijakan tersebut dapat dilakukan melalui jalur BUMD Pangan yang sedang dikembangkan saat ini. BUMD Pangan nantinya akan memastikan ketersediaan pangan pokok dan komoditas strategis dalam 3 bulan ke depan. Kegiatan perdagangan antar-daerah yang telah dilakukan PD. Aneka industri dan jasa perlu terus dilakukan terutama untuk memasok komoditas yang defisit. (P4/isya)
Komentar Anda

Berita Terkini